Advertisement

PENJELASAN SYUBUHAT MASALAH GAMBAR

SYUBUHAT MASALAH GAMBAR


Syubhat Pertama
Saya terpaksa menggambar

Sebagian orang bermudah-mudah memotret atau menggambar dengan alasan terpaksa.
 
Kita jawab: 
sesuatu dikatakan darurat (amat terpaksa) apabila menyebabkan kesulitan yang amat sangat atau bahaya besar jika tidak dikerjakan. Jika memang itu terjadi, maka diperbolehkanlah sesuatu yang sebelumnya dilarang.
 
Al ‘Allamah Abdurrahman bin Muhammad Zadah رحمه الله berkata: “Karena sesungguhnya kondisi darurat itu menyebabkan bolehnya perkara yang terlarang.” (“Majma’ul Anhur Fi Syarhi Multaqal Abhur”/1/hal. 248).
 
Al ‘Allamah Az Zarkasyiy رحمه الله berkata: “Maka darurat adalah sampainya seseorang pada suatu batasan yang jika dia tidak melakukan perkara yang terlarang dia akan binasa atau mendekati kebinasaan, seperti orang yang terpaksa makan atau memakai pakaian yang haram yang andaikata dia membiarkan dirinya kelaparan atau telanjang justru bisa mati, atau ada satu anggota tubuh yang binasa. Dan kondisi semacam tadi menyebabkan bolehnya melakukan perkara yang diharamkan.” (“Al Mantsur Fil Qawa’idil Fiqhiyyah”/2/hal. 319).
 
Al Imam Ibnu Baz رحمه الله ditanya: 
“Apa hukum memotret, apabila seseorang itu terpaksa untuk melakukannya? Berilah kami fatwa, semoga Allah memberikan pahala pada Anda”.
 
Maka beliau رحمه الله menjawab: “Memotret itu jika situasi darurat memang mengharuskannya, seperti untuk mencari buronan, surat izin mengemudi, dan yang semacam itu kami mengharapkan tidak ada dosa padanya, berdasarkan firman Allah سبحانه di dalam surat Al An’am:

﴿وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ﴾.

“Dan sungguh Allah telah memperinci untuk kalian apa yang Dia Haramkan terhadap kalian, kecuali jika kalian sangat terpaksa untuk melakukannya”.

Adapun tanpa ada keadaan darurat (sangat terpaksa), maka hal itu tidak boleh, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

«أَشَدُّ النَّاسِ عَذَاباً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اْلمُصَوِّرُوْنَ ».

“Sesungguhnya orang yang paling keras disiksa di sisi Allah pada hari Kiamat adalah para tukang gambar”. [HR. Al Bukhariy (5950) dan Muslim (2109)].
 
Dan juga karena Nabi ﷺ melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makanan riba. Dan beliau melaknat para tukang gambar”.

Hadits-hadits dalam bab ini banyak. Dan yang dimaksudkan dengan gambar tadi adalah gambar makhluk bernyawa dari kalangan manusia dan yang lainnya.
 
Adapun menggambar makhluk yang tidak punya nyawa semacam: pepohonan, gunung, mobil dan yang semacam itu, maka tidak ada dosa di dalamnya. Dan Allah adalah Yang Mengurusi taufik”.
(Selesai dari “Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibni Baz”/9/hal. 308).
 
Memang jika pemerintah mengharuskan untuk membuat Kartu Identitas Penduduk atau Surat Idzin Mengemudi dan sebagainya, maka itu adalah darurat dan keterpaksaan yang jika tidak dilaksanakan akan timbul bahaya di kemudian hari atau timbul kesulitan yang meletihkan.
 
Fadhilatusy Syaikh Yahya Bin Ali Al Hajuriy حفظه الله setelah menyebutkan dalil-dalil yang banyak tentang haramnya gambar makhluk bernyawa, beliau berkata: “Maka menggambar makhluk bernyawa itu termasuk ke dalam dosa-dosa besar. Dan jika seseorang diharuskan untuk membuat kartu identitas, atau paspor, atau Surat Idzin Mengemudi mobil atau yang semacam itu, maka hendaknya dia mengerjakannya dan dia tidak terkena dosa. Dosanya dipikul oleh orang yang memaksanya untuk mengerjakan itu”. (“Al Kanzuts Tsamin”/Asilatun Fi Masjid Ali Jumaidah).
 
Adapun kenyataan yang sering terjadi adalah : mereka bermudah-mudah untuk mengatakan terpaksa padahal itu tidak terpaksa. Banyak dari ahli batil yang menipu umat melalui pola ushul fiqih, lalu melakukan pemotretan dengan alasan darurat padahal sebenarnya bukan darurat. Mereka lupa atau pura-pura lupa bahwasanya situasi darurat itu harus ditimbang kadarnya, sehingga hanya diperbolehnya sesuai dengan kadar daruratnya.
 
Al ‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam رحمه الله berkata: “… Karena sesungguhnya perkara yang telah pasti karena adanya suasana darurat itu harus dinilai seduai dengan kadarnya.” (“Qawa’idil Ahkam Fi Mashalihil Anam”/1/hal. 107).
 
Al Imam Ibnul Humam Al Mishriy Al Hanafiy رحمه الله berkata: “Dan perkara yang telah pasti adanya dengan sebab darurat, dia itu harus diukur sesuai dengan kadar perkara darurat tadi.” (“Fathul Qadir”/karya Al Kamal Ibnul Humam/8/hal. 35).

Syubhat Kedua


Merekam dengan video itu sama dengan menampilkan gambar pada cermin, maka hukumnya adalah halal

Syubhat kedua dari ahli batil adalah: “Merekam dengan video itu sekedar menghasilkan bayang-bayang dari objeknya, maka dia itu sama dengan menampilkan gambar pada cermin, maka hukumnya adalah halal”.

Jawabannya –dengan memohon taufik pada Allah ta’ala-: “Gambar yang terbentuk pada cermin itu tidak menetap, begitu sumbernya hilang, hilang pulalah gambar tadi dari cermin tersebut. Sedangkan kamera video tidaklah demikian, karena dia dibuat oleh manusia hingga memiliki kemampuan menyimpan bayang-bayang yang terbentuk pada dirinya lalu ditampilkan kembali sama persis dengan sumbernya. Maka pada kamera video tadi ada kekuatan penyimpanan terhadap gambar tersebut, tidak seperti cermin yang mana bayang-bayang yang terbentuk itu bersifat amat sementara, tidak menetap.

Bahkan acara-acara yang dikatakan sebagai siaran langsung; dan dinyatakan tidak menyimpan gambar, kenyataannya sudah ada proses penyimpanan sekalipun hanya sekian mikrodetik, ketika diubah dari asalnya menjadi gelombang electromagnet, lalu dikirimkan ke satelit atau pemancar untuk disampaikan ke tempat yang lain yang jauh, lalu gelombang tadi diubah kembali hingga memungkinkan untuk ditampilkan di layar kaca dan sebagainya. Ini sangat jelas bahwasanya penyimpanan telah terjadi di selang waktu tadi, tidak seperti bayangan di cermin.
Dan penyimpanannya semakin nampak jelas manakala jarak antara acara tadi dan tempat penyiarannya itu sangat jauh, atau ada gangguan cuaca yang menampilkan kejelasan tenggang waktu antara pengiriman dan penerimaan.
Dan itu semua tidak keluar dari istilah gambar: “Itu gambar Fulan”, maka dia masuk ke dalam keumuman hukum gambar makhluk bernyawa yang mana Allah sangat murka terhadap pelakunya. Dan tidak halal mengkhususkan dalil yang bersifat umum tanpa adanya dalil dari Allah atau Rasul-Nya ﷺ.

Al Qurthubiy رحمه الله dalam membantah orang yang mengkhususkan keumuman suatu dalil tanpa hujjah yang memenuhi syarat, beliau berkata: “… Karena pengkhususan itu tidak terjadi kecuali dengan berita dari pihak yang wajib untuk disikapi dengan taslim (kepasrahan –pen). Dan termasuk dari prinsip yang telah diketahui adalah: kewajiban untuk berpegang teguh dengan keumuman dalil”. (“Tafsir Al Qurthubiy”/12/hal. 299).

Dan yang lebih membuktikan penipuan sebagian juru dakwah yang mengatakan bahwasanya penyiaran tadi adalah siaran langsung dan tidak tersimpan adalah: seringkali juru rekam mereka mendokumentasikannya di dalam folder dan file, dan bahkan menampilkannya di Youtube dan lain-lain, sehingga setiap saat penggemarnya mampu untuk membukanya. Dan tidak mustahil mereka tahu dengan perbuatan para juru rekam mereka itu tapi mereka membiarkannya.
-------------------

( “Sabiylun Najaah Inda ikhtilaafil Ulamaa' Fiy Hukmi Tashwiyri Dzawaatil Arwaah | Terjemah bebas : "Hukum Gambar dan Sikap Yang Benar terhadap Perselisihan Para Pakar | Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy حفظه الله )**

📚 Ⓙⓞⓘⓝ Ⓒⓗⓐⓝⓝⓔⓛ 📚
               📒📕📗📘📙 


Telegram: ilmui
WA: ILMUI

#share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan

Post a Comment

0 Comments