Advertisement

LOGIKA BERTAUHID

بسم الله الرحمٰن الرحيم

🪐 LOGIKA BERTAUHID 🪐

 Alloh ta'ala berkata:

{مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذاً لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ} [المؤمنون:91 - 92].

“Allah tidak mengambil anak, dan tidak ada yang berhak disembah bersama-Nya. (Kalau ada), maka setiap tuhan itu akan membawa apa yang diciptakannya, dan sebagian dari mereka pasti akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Dia mengetahui yang gaib dan yang nyata, maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
(QS. Al-Mu’minūn: 91–92).

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin (w: 1421) rohimahulloh: 

ينفي الله تعالي في هذه الآية أن يكون اتخذ ولداً، أو أن يكون معه إله.
ويتأكد هذا النفي بدخول {مِنْ} في قوله {مِنْ وَلَدٍ}، وقوله: {مِنْ إِلَهٍ} , لأن زيادة حرف الجر في سياق النفي ونحو تفيد التوكيد.
فقوله: {مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ}، يعني: ما اصطفي أحداً يكون ولداً له، لا عزير، ولا المسيح، ولا الملائكة ولا غيرهم،
لأنه الغني عما سواه.

وإذا انتفي اتخاذه الولد فانتفاء أن يكون والداً من باب أولي.

وقوله: {مِنْ إِلَهٍ}: {إِلَهٍ}، بمعني: مألوه، مثل: بناء، بمعني: مبني، وفراش، بمعني: مفروش، فالإله بمعني المألوه، أي: المعبود المتذلل له.

يعني: ما كان معه من إله حق، أما الآلهات الباطلة، فهي موجودة، لكن لكونها باطلة، كانت كالعدم، فصح أن يقال: ما كان مع الله من إله.

{إِذاً}، يعني: لو كان معه إله.

{لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ}: لو كان هناك إله آخر يساوي الله عز وجل, لكان له ملك خاص ولله ملك خاص، يعني: لا نفرد كل واحد منهم بما خلق، قال: هذا خلقي لي، وكذلك الآخر.

وحينئذ، يريد كل منهما أن يسيطر على الآخر كما جرت به العادة، فملوك الدنيا كل واحد منهم يريد أن يسيطر على الآخر، وتكون المملكة كلها له، وحينئذ:

إما أن يتمانعا، فيعجز كل واحد منهما عن الآخر، وإذا عجز كل واحد منهما عن الآخر، ما صح أن يكون واحد منهما إلهاً، لأن الإله لا يكون عاجزاً.
وإما أن يعلو أحدهما على الآخر، فالعالي هو الإله.
فترجع المسألة إلي أنه لابد أن يكون للعالم إله واحد, ولا يمكن أن يكون للعالم إلهان أبداً لأن القضية لا تخرج من هذين الاحتمالين.
كما أننا أيضاً إذا شاهدنا الكون علوية وسفلية، وجدنا أنه كون يصدر عن مدبر واحد، وإلا، لكان فيه تناقض، فأحد الإلهين يقول مثلاً: أنا أريد الشمس تخرج من المغرب! والثاني يقول: أريدها تطلع من المشرق! واتفاق الإرادتين بعيد جداً، ولا سيما أن المقام مقام سلطة، فكل واحد يريد أن يفرض رأيه.
ومعلوم أننا لا نشاهد الآن الشمس تطلع يوماً مع هذا ويوماً مع هذا، أو يوماً تتأخر لأن الثاني منعها ويوماً تتقدم لأن الأول أمر الثاني بإخراجها، فلا تجد هذا، نجد الكون كله واحداً متناسباً متناسقاً، مما يدل دلالة ظاهرة على أن المدبر له واحد، وهو الله عز وجل.
فبين الله سبحانه وتعالى بدليل عقلي أنه لا يمكن التعدد، إذ لو أمكن التعدد، لحصل هذا، لا نفصل كل واحد عن الثاني، وذهب كل إله بما خلق، وحينئذ إما أن يعجز أحدهما عن الآخر، وإما أن يعلو أحدهما الآخر، فإن كان الأول، لم يصلح أي واحد منهما للألوهية، وإن كان الثاني، فالعالي هو الإله، وحينئذ يكون الإله واحداً.
فإن قيل: ألا يمكن أن يصطلحا وينفرد كل واحد بما خلق؟

فالجواب: أنه لو أمكن ووقع، لزم أن يختل نظام العالم.
ثم إن اصطلاحهما لا يكون إلا لخوف كل واحد منهما من الآخر، وحينئذ لا تصلح الربوبية ولواحد منهما، لعجزه عن مقاومة الآخر.
ثم قال تعالى: {سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُون}، أي: تنزيهاً لله عز وجل عما يصفه به الملحدون المشركون الذي يقولون في الله سبحانه مالا يليق به.
{عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ}: الغيب: ما غاب عن الناس، والشهادة: ما شهده الناس.
{فَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ}: {فَتَعَالَى}، يعني: ترفع وتقدس.
{عَمَّا يُشْرِكُونَ}: عن الأصنام التي جعلوها آلهة مع الله تعالى.
وفي هاتين الآيتين من صفات النفي: تنزه الله تعالى عن اتخاذ الولد الذي وصفه به الكافرون، وعن الشريك له في الألوهية الذي أشرك به المشركون.
وهذا النفي لكمال غناه وكمال ربوبيته وإلهيته.
ونستفيد منهما من الناحية المسلكية: أن الإيمان بذلك يحمل الإنسان على الإخلاص لله عز وجل.
LOGIKA BERTAUHID


Allah Ta‘ala menafikan dalam ayat ini bahwa Dia mengambil anak, atau bahwa ada yang berhak disembah bersama-Nya.
Dan penafian ini semakin ditegaskan dengan masuknya kata {مِنْ} dalam firman-Nya {مِنْ وَلَدٍ} dan firman-Nya {مِنْ إِلَهٍ}, karena tambahan huruf min (مِنْ) dalam konteks penafian dan yang semisalnya memberikan faedah penegasan.

Maka firman-Nya: {مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ}, artinya: Allah tidak memilih seorang pun sebagai anak bagi-Nya—baik itu ‘Uzair, atau al-Masih (Isa), atau malaikat, ataupun selain mereka—karena Dia Mahakaya dari segala sesuatu selain-Nya.

Dan jika penafian Allah mengambil anak telah ditetapkan, maka penafian bahwa Dia sebagai orang tua lebih utama lagi.

Firman-Nya: {مِنْ إِلَهٍ}. Kata {إِلَهٍ} bermakna ma‘lūh (مألوه), sebagaimana pola binā’ bermakna mabnī (dibangun), dan firāsy bermakna mafrūsy (tergelar). Maka ilāh artinya adalah ma‘lūh, yakni yang disembah dan kepadanya dilakukan ketundukan.

Maksudnya: tidak ada bersama Allah sembahan yang benar. Adapun tuhan-tuhan yang batil memang ada, tetapi karena kebatilannya, ia sama dengan ketiadaan. Maka benarlah dikatakan: tidak ada bersama Allah tuhan yang berhak disembah.

Firman-Nya: {إِذاً} artinya: seandainya ada tuhan (yang berhak disembah) bersama-Nya.

Firman-Nya: {لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ}, artinya: kalau ada tuhan lain yang disembah yang setara dengan Allah ‘azza wa jalla, niscaya masing-masing dari mereka memiliki kerajaan khusus, dan Allah memiliki kerajaan khusus. Artinya, masing-masing memisahkan apa yang diciptakannya, lalu ia berkata: “Ini ciptaan-ku untukku,” demikian pula yang lainnya.

Ketika itu, masing-masing dari mereka pasti ingin menguasai yang lain sebagaimana biasanya yang terjadi: raja-raja di dunia, masing-masing ingin menguasai yang lain, dan ingin agar seluruh kerajaan menjadi miliknya. Maka pada saat itu:

Bisa jadi keduanya saling menghalangi, lalu masing-masing menjadi lemah menghadapi yang lain. Jika masing-masing lemah terhadap yang lain, maka tidak pantas salah satu dari mereka disebut tuhan, sebab tuhan itu tidak mungkin lemah.

Atau bisa jadi salah satu dari mereka mengalahkan yang lain, maka yang lebih tinggi itulah yang menjadi tuhan.


Maka kembali persoalan ini kepada kenyataan bahwa semesta ini harus memiliki satu Tuhan saja. Tidak mungkin alam ini memiliki dua tuhan selamanya, karena persoalan ini tidak keluar dari dua kemungkinan tersebut.

Sebagaimana pula jika kita memperhatikan alam semesta ini, baik yang di atas maupun yang di bawah, kita dapati bahwa ia berjalan dengan aturan yang berasal dari satu pengatur saja. Jika tidak, pasti akan ada pertentangan. Misalnya, salah satu dari dua tuhan berkata: “Aku ingin matahari terbit dari barat,” sedangkan yang lain berkata: “Aku ingin ia terbit dari timur.” Persesuaian kehendak semacam itu sangat mustahil, apalagi dalam posisi kekuasaan, karena masing-masing ingin memaksakan kehendaknya.

Dan jelas bagi kita bahwa tidak pernah kita saksikan matahari suatu hari terbit sesuai kehendak yang ini, lalu hari berikutnya sesuai kehendak yang itu. Atau suatu hari ia tertahan karena yang lain melarangnya, lalu di hari lain ia maju karena yang pertama memerintahkan yang kedua untuk mengeluarkannya. Tidak ada hal semacam itu. Tetapi kita dapati alam semesta ini satu, selaras, dan harmonis. Ini adalah dalil yang nyata bahwa pengaturnya satu, yaitu Allah ‘azza wa jalla.

Maka Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menjelaskan dengan dalil akal bahwa mustahil adanya tuhan lebih dari satu. Sebab kalau ada kemungkinan adanya dua tuhan, pasti akan terjadi hal demikian: masing-masing terpisah, lalu setiap tuhan membawa ciptaannya masing-masing. Lalu salah satu di antara dua hal ini harus terjadi:

Bisa jadi salah satunya lemah terhadap yang lain, maka keduanya tidak layak disebut tuhan.

Atau salah satunya mengalahkan yang lain, maka yang lebih tinggi itulah tuhan.


Dan dengan demikian, tuhan itu satu.

Jika ada yang berkata: “Apakah tidak mungkin keduanya berdamai dan masing-masing mengurusi ciptaannya sendiri?”

Maka jawabannya: bahwa seandainya hal itu mungkin terjadi dan benar-benar terjadi, niscaya sistem alam ini akan rusak.
Kemudian, perjanjian di antara keduanya tidak akan terjadi kecuali karena rasa takut masing-masing dari yang lain, dan ketika itu rububiyah tidak pantas bagi salah satu dari keduanya, karena kelemahannya untuk menghadapi yang lain.

Kemudian Allah Ta‘ala berfirman:

{سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ}
“Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan,”

yakni pensucian bagi Allah ‘Azza wa Jalla dari apa yang disifatkan oleh orang-orang mulhid musyrik, yaitu mereka yang berkata terhadap Allah Subḥānahu sesuatu yang tidak layak bagi-Nya.

{عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ}:
“Yang Maha Mengetahui perkara gaib dan yang nyata.”
Al-ghayb: apa yang tersembunyi dari manusia.
Asy-syahādah: apa yang disaksikan oleh manusia.

{فَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ}
“Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

{فَتَعَالَى}
 artinya: Dia Maha Tinggi dan Maha Suci.
{عَمَّا يُشْرِكُونَ}:
 dari berhala-berhala yang mereka jadikan sebagai sembahan-sembahan selain Allah Ta‘ala.

Dan dalam dua ayat ini terdapat sifat-sifat penafian: Allah Ta‘ala disucikan dari mengambil anak sebagaimana yang disifatkan orang-orang kafir, dan dari adanya sekutu bagi-Nya dalam uluhiyah sebagaimana yang dipersekutukan oleh orang-orang musyrik.

Penafian ini menunjukkan kesempurnaan kekayaan-Nya, kesempurnaan rububiyah-Nya, dan kesempurnaan uluhiyah-Nya.

Dan kita mengambil pelajaran darinya dari sisi manhaj amaliah (praktis): bahwa iman terhadap hal tersebut mendorong manusia untuk ikhlas (memurnikan ibadah hanya) kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

📚 Ibnu ‘Utsaimin, Syarḥ al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyyah, 1/364-367

#share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan
#LOGIKA #TAUHID

Post a Comment

0 Comments