بسم الله الرحمٰن الرحيم
⚡️KEWAJIBAN WALI ALLOH⚡️
Berkata Syaikhul Islam ibnu Taymiyah (w: 728) rohimahulloh:
أن أولياء الله يجب عليهم الاعتصام بالكتاب والسنة، وأنه ليس فيهم معصوم يسوغ له أو لغيره اتباع ما يقع في قلبه من غير اعتبار بالكتاب والسنة هو مما اتفق عليه أولياء الله عز وجل، ومن خالف في هذا
فليس من أولياء الله سبحانه الذين أمر الله باتباعهم، بل إما ان يكون كافرا، وإما ان يكون مفرطا في الجهل.
وهذا كثير في كلام المشايخ، كقول الشيخ أبي سليمان الداراني: انه ليقع في قلبي النكتة من نكت القوم، فلا أقبلها إلا بشاهدين: الكتاب والسنة.
وقال أبو القاسم الجنيد رحمه الله عليه: علمنا هذا مقيد بالكتاب والسنة، فمن لم يقرأ القرآن ويكتب الحديث، لا يصلح له أن يتكلم في علمنا، أو قال: لا يقتدى به.
وقال أبو عثمان النيسابوري: من أمر السنة على نفسه قولا وفعلا، نطق بالحكمة، ومن أمر الهوى على نفسه قولا وفعلا، نطق بالبدعة، لأن الله تعالى يقول في كلامه القديم: {وإن تطيعوه تهتدوا} .
وقال أبو عمر بن نجيد: كل وجد لا يشهد له الكتاب والسنة فهو باطل.
وكثير من الناس يغلط في هذا الموضع، فيظن في شخص أنه ولي لله، ويظن أن ولي الله يقبل منه كل ما يقوله، ويسلم إليه كل ما يقوله ويسلم إليه كل مايفعله، وإن خالف الكتاب والسنة، فيوافق ذلك الشخص له، ويخالف ما بعث الله به رسوله الذي فرض الله على جميع
الخلق تصديقه فيما أخبر وطاعته فيما أمر، وجعله الفارق بين أوليائه واعدائه، وبين أهل الجنة وأهل النار، وبين السعداء والأشقياء، فمن اتبعه كان من أولياء الله المتقين، وجنده المفلحين، وعباده الصالحين، ومن لم يتبعه كان من أعداء الله الخاسرين المجرمين، فتجره مخالفة الرسول وموافقة ذلك الشخص أولا إلى البدعة والضلال، وآخر إلى الكفر والنفاق، ويكون له نصيب من قوله تعالى: {ويوم يعض الظالم على يديه يقول يا ليتني اتخذت مع الرسول سبيلا * يا ويلتى ليتني لم أتخذ فلانا خليلا * لقد أضلني عن الذكر بعد إذ جاءني وكان الشيطان للإنسان خذولا} وقوله تعالى: {يوم تقلب وجوههم في النار يقولون يا ليتنا أطعنا الله وأطعنا الرسولا * وقالوا ربنا إنا أطعنا سادتنا وكبراءنا فأضلونا السبيلا * ربنا آتهم ضعفين من العذاب والعنهم لعنا كبيرا}
---
Bahwa para wali Allah wajib berpegang teguh pada Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah.
Dan bahwa tidak ada di antara mereka yang ma‘shum (terjaga dari kesalahan) yang boleh baginya — atau bagi selainnya — untuk mengikuti apa yang terlintas dalam hatinya tanpa mempertimbangkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Ini adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para wali Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang menyelisihi hal ini, maka dia bukanlah termasuk wali-wali Allah subḥānahu yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti, bahkan dia bisa jadi termasuk orang kafir, atau setidaknya orang yang sangat lalai karena kebodohannya.
Dan hal ini banyak disebut dalam ucapan para masyayikh, seperti perkataan Abū Sulaymān ad-Dārānī:
"Sungguh, kadang terlintas dalam hatiku suatu ilham (nuktah) dari ilham-ilham para kaum (sufi), namun aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi: Al-Kitab dan As-Sunnah."
Dan berkata Abū al-Qāsim al-Junayd رحمه الله:
"Ilmu kami ini terikat (terbatas) dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Maka barangsiapa yang tidak membaca Al-Qur’an dan tidak menulis (mempelajari) hadits, maka ia tidak pantas berbicara dalam ilmu kami."
Atau beliau berkata: "Tidak boleh dijadikan panutan."
Dan berkata Abū ‘Uthmān an-Naysābūrī:
"Barangsiapa yang menundukkan (mengendalikan) dirinya dengan sunnah, baik dalam ucapan maupun perbuatan, maka dia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa yang menundukkan dirinya dengan hawa nafsu, baik dalam ucapan maupun perbuatan, maka dia akan berbicara dengan bid‘ah. Karena Allah ta‘ālā berfirman dalam Kalam-Nya yang Qadim:
{Dan jika kalian taat kepadanya (Rasul), niscaya kalian akan mendapat petunjuk} [An-Nūr: 54]."
Dan berkata Abū ‘Umar bin Najīd:
"Setiap keadaan (wujūd / pengalaman spiritual) yang tidak disaksikan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah, maka itu batil (tidak sah)."
Namun banyak orang yang keliru dalam perkara ini. Mereka menyangka bahwa seseorang adalah wali Allah, lalu menyangka pula bahwa wali Allah itu diterima darinya segala sesuatu yang ia katakan, dan diserahkan kepadanya segala sesuatu yang ia lakukan — sekalipun bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Maka mereka pun membenarkan orang tersebut dan menyelisihi ajaran yang dibawa oleh Rasul — yang Allah telah wajibkan atas seluruh makhluk untuk membenarkan segala berita yang beliau sampaikan dan menaati segala perintahnya. Allah telah menjadikan Rasul sebagai pembeda antara wali-wali-Nya dan musuh-musuh-Nya, antara penghuni surga dan penghuni neraka, antara orang-orang bahagia dan orang-orang celaka.
Maka barangsiapa yang mengikutinya (Rasul), ia termasuk wali Allah yang bertakwa, tentara Allah yang beruntung, dan hamba-hamba Allah yang saleh. Dan barangsiapa yang tidak mengikutinya, maka ia termasuk musuh-musuh Allah yang merugi dan pelaku dosa besar.
Penyimpangan dari Rasul dan kesesuaian dengan orang tersebut (yang dikira wali), awalnya akan menyeret pada bid‘ah dan kesesatan, dan akhirnya akan membawa pada kekufuran dan kemunafikan.
Dia pun akan mendapat bagian dari firman Allah Ta‘ālā:
> "Dan (ingatlah) hari ketika orang zalim menggigit kedua tangannya seraya berkata: ‘Aduhai! Kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Celaka besar bagiku! Seandainya aku tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman akrabku. Sungguh, dia telah menyesatkanku dari peringatan (Al-Qur’an) setelah Al-Qur’an itu datang kepadaku.’ Dan sungguh, setan itu adalah pengkhianat terhadap manusia."
[Al-Furqan: 27–29]
Dan firman-Nya Ta‘ālā:
> "(Yaitu) hari ketika wajah-wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: ‘Aduhai, sekiranya kami menaati Allah dan menaati Rasul.’ Dan mereka berkata: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka dua kali lipat dari azab, dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar’."
[Al-Ahzab: 66–68]
---
📚 Al-Furqān bayna Awliyāʾ ar-Raḥmān wa Awliyāʾ asy-Syaithān, halaman 73–75
Telegram: https://t.me/ilmui
WA
#share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan
#kewajiban #wali #ALLOH
0 Comments