بسم الله الرحمٰن الرحيم
💦 WASPADA DARI WAS-WAS KETIKA BERSUCI 💦
Berkata Ibnul Qoyyim rohimahulloh (w: 751)
ولا ريب أن الشيطان هو الداعى إلى الوسواس: فأهله قد أطاعوا الشيطان، ولبوا دعوته، واتبعوا أمره ورغبوا عن اتباع سنة رسول الله صلى الله تعالى عليه وسلم وطريقته، حتى إن أحدهم ليرى أنه إذا توضأ وضوء رسول الله صلى الله تعالى عليه وسلم، أو اغتسل كاغتساله، لم يطهر ولم يرتفع حدثه، ولولا العذر بالجهل لكان هذا مشاقة للرسول، فقد كان رسول الله صلى الله تعالى عليه وسلم يتوضأ بالمد، وهو قريب من ثلث رطل بالدمشقى، ويغتسل بالصاع وهو نحو رطل وثلث، والموسوس يرى أن ذلك القدر لا يكفيه لغسل يديه، وصح عنه عليه السلام أنه توضأ مرة مرة، ولم يزد على ثلاث، بل أخبر أن:
"مَنْ زَادَ عَلَيْهَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ".
فالموسوس مسىء متعد ظالم بشهادة رسول الله صلى الله تعالى عليه وآله وسلم، فكيف يتقرب إلى الله بما هو مسىء به متعدّ فيه لحدوده؟،
وصح عنه صلى الله عليه وسلم أنه كان يغتسل هو وعائشة رضى الله عنها من قصعة بينهما فيها أثر العجين، ولو رأى الموسوس من يفعل هذا لأنكر عليه غاية الإنكار، وقال: ما يكفى هذا القدر لغسل اثنين؟ كيف والعجين يحلله الماء فيغيره؟ هذا والرشاش ينزل فى الماء فينجسه عند بعضهم، ويفسده عند آخرين، فلا تصح به الطهارة، وكان صلى الله تعالى عليه وسلم يفعل ذلك مع غير عائشة، مثل ميمونة وأم سلمة، وهذا كله فى الصحيح.
وثبت أيضاً فى الصحيح عن ابن عمر رضى الله عنهما أنه قال: "كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسلمَ يَتَوَضَّئُونَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ".
والآنية التى كان رسول الله عليه السلام وأزواجه وأصحابه ونساؤهم يغتسلون منها لم تكن من كبار الآنية ولا كانت لها مادة تمدها؛ كأنبوب الحمام ونحوه، ولم يكونوا يراعون فيضانها حتى يجرى الماء من حافاتها، كما يراعيه جهال الناس ممن بلى بالوسواس فى جرن الحمام.
فهدى رسول الله صلى الله عليه وسلم الذى من رغب عنه فقد رغب عن سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، جواز الاغتسال من الحياض والآنية وإن كانت ناقصة غير فائضة، ومن انتظر الحوض حتى يفيض، ثم استعمله وحده ولم يمكن أحدا أن يشاركه فى استعماله فهو مبتدع مخالف للشريعة.
قال شيخنا: "ويستحق التعزير البليغ الذى يزجره وأمثاله عن أن يشرعوا فى الدين ما لم يأذن به الله، ويعبدوا الله بالبدع لا بالاتباع".
ودلت هذه السنن الصحيحة على أن النبى صلى الله تعالى عليه وسلم وأصحابه لم يكونوا يكثرون صب الماء، ومضى على هذا التابعون لهم بإحسان.
قال سعيد بن المسيب: "إنى لأستنجى من كوز الحب وأتوضأ وأفضل منه لأهلى".
وقال الإمام أحمد: "من فقه الرجل قلة ولوعه بالماء".
وقال المروزى: "وضأت أبا عبد الله بالعسكر، فسترته من الناس، لئلا يقولوا إنه لا يحسن الوضوء لقلة صبه الماء".
وكان أحمد يتوضأ فلا يكاد يبل الثرى.
وثبت عنه صلى الله عليه وسلم فى الصحيح: "أَنَّهُ تَوَضَّأَ مِنْ إنَاءٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاُسْتَنْشَقَ".
وكذلك كان صلى الله عليه وسلم فى غسله يدخل يده فى الإناء، ويتناول الماء منه، والموسوس لا يجوز ذلك، ولعله أن يحكم بنجاسة الماء ويسلبه طهوريته بذلك.
وبالجملة فلا تطاوعه نفسه لاتباع رسول الله صلى الله تعالى عليه وسلم، وأن يأتى بمثل ما أتى به أبداً، وكيف يطاوع الموسوس نفسه أن يغتسل هو وامرأته من إناء واحد قدر الفَرقَ قريباً من خمسة أرطال بالدمشقى، يغمسان أيديهما فيه، ويفرغان عليهما؟ فالمسوس يشمئز من ذلك كما يشمئز المشرك إذا ذكر الله وحده.
---
"Tidak diragukan lagi bahwa setanlah yang mengajak kepada waswas (was-was). Maka para pelakunya (orang-orang yang terkena waswas) telah menaati setan, memenuhi panggilannya, mengikuti perintahnya, dan berpaling dari mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ dan jalan beliau. Sampai-sampai salah seorang dari mereka merasa bahwa jika ia berwudhu sebagaimana wudhunya Rasulullah ﷺ, atau mandi sebagaimana mandi beliau, maka ia tidak akan menjadi suci dan hadatsnya tidak akan terangkat.
Kalau bukan karena adanya udzur karena kebodohan, maka sikap semacam ini tergolong sebagai perlawanan terhadap Rasulullah ﷺ.
Sungguh, Rasulullah ﷺ dahulu berwudhu dengan satu mud (ukuran sekitar sepertiga rithl Damaskus), dan beliau mandi dengan satu sha' (sekitar satu rithl sepertiga), sedangkan orang yang terkena waswas memandang bahwa takaran sebanyak itu tidak cukup bahkan hanya untuk membasuh kedua tangannya.
Telah shahih dari Nabi ﷺ bahwa beliau berwudhu sekali-sekali (setiap anggota hanya satu kali), dan beliau tidak pernah melebihi tiga kali, bahkan beliau bersabda:
> “Barangsiapa yang menambah (lebih dari tiga kali), maka sungguh dia telah berbuat buruk, melampaui batas, dan berlaku zalim.”
Maka orang yang waswas itu adalah orang yang berbuat buruk, melampaui batas, dan berlaku zalim menurut kesaksian Rasulullah ﷺ.
Lalu bagaimana mungkin seseorang bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang oleh Rasulullah ﷺ disebut sebagai perbuatan buruk, melampaui batas, dan zalim terhadap batas-batas Allah?
Telah shahih pula dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah mandi bersama ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā dari satu wadah besar yang terdapat sisa adonan (tepung) di dalamnya.
Kalau orang yang terkena waswas melihat seseorang melakukan hal itu, niscaya dia akan mengingkarinya dengan pengingkaran yang sangat keras. Dia akan berkata:
> “Apakah cukup air sebanyak itu untuk mandi dua orang? Apalagi di dalamnya ada adonan yang bisa larut dalam air dan mengubah sifatnya!”
Padahal air percikan saja dianggap oleh sebagian mereka bisa menajiskan air, dan menurut sebagian lain bisa merusaknya sehingga tidak sah digunakan untuk bersuci.
Dan Nabi ﷺ biasa melakukan hal itu juga bersama istri-istri beliau yang lain, seperti Maimūnah dan Ummu Salamah, dan semuanya diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih.
Telah tetap pula dalam hadits shahih dari Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā bahwa beliau berkata:
> “Pada masa Rasulullah ﷺ, laki-laki dan perempuan berwudhu dari satu wadah yang sama.”
Dan wadah-wadah yang biasa digunakan oleh Rasulullah ﷺ bersama istri-istri dan para sahabatnya untuk mandi bukanlah wadah-wadah besar, dan tidak memiliki saluran air tambahan sebagaimana pancuran atau pipa seperti di kamar mandi zaman sekarang.
Mereka juga tidak memperhatikan agar air melimpah dan mengalir keluar dari tepi wadahnya, sebagaimana diperhatikan oleh orang-orang bodoh yang tertimpa waswas di bak-bak mandi zaman sekarang.
"Maka petunjuk Rasulullah ﷺ – yang barangsiapa berpaling darinya, sungguh ia telah berpaling dari sunnah Rasulullah ﷺ – menunjukkan bolehnya mandi dari kolam (al-ḥiyāḍ) dan wadah-wadah (al-āniyah), meskipun airnya sedikit dan tidak melimpah.
Adapun orang yang menunggu hingga kolam itu meluap (airnya keluar melimpah dari tepinya), lalu ia menggunakannya sendirian dan tidak mengizinkan seorang pun untuk ikut menggunakannya, maka dia adalah seorang ahli bid’ah yang menyelisihi syariat.”
Berkata guru kami (ibnu Taimiyah rohimahulloh):
“Dan orang yang membuat-buat syariat dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah, serta menyembah Allah dengan bid’ah dan bukan dengan mengikuti sunnah, maka dia pantas untuk diberi hukuman ta’zīr yang keras, yang bisa mencegah dirinya dan orang-orang semisalnya dari melakukan hal tersebut.”
Dan hadits-hadits shahih ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ dan para sahabat beliau tidak memperbanyak penggunaan air dalam berwudhu. Dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik pun berjalan di atas cara itu.
Sa’id bin al-Musayyib berkata:
“Sesungguhnya aku beristinja (membersihkan najis) dengan menggunakan sebuah kendi dari tanah liat, lalu aku berwudhu darinya, dan aku masih menyisakannya untuk keluargaku.”
Imam Ahmad berkata:
“Termasuk bagian dari pemahaman (fiqih) seseorang adalah sedikitnya dia berlebihan dalam menggunakan air.”
Al-Marwadzi berkata:
“Aku pernah membantu wudhu Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad) di wilayah al-‘Askar, lalu aku menutupi beliau dari pandangan orang-orang, supaya mereka tidak mengatakan bahwa beliau tidak pandai berwudhu karena sedikitnya beliau menggunakan air.”
Imam Ahmad biasa berwudhu, namun tanah pun nyaris tidak menjadi basah (karena sedikitnya air yang digunakan).
Dan telah tetap riwayat dari Nabi ﷺ dalam hadits shahih:
“Bahwa beliau berwudhu dari sebuah wadah, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, lalu berkumur dan menghirup air ke hidung (istinsyaq).”
Demikian pula ketika beliau mandi, beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah, lalu mengambil air darinya.
Adapun orang yang was-was (dalam thaharah), maka hal seperti ini tidak boleh baginya (menurut anggapannya), bahkan mungkin dia akan menghukumi air itu najis dan mencabut statusnya sebagai air yang mensucikan.
Secara umum, jiwanya tidak akan patuh untuk mengikuti Rasulullah ﷺ dan melakukan sebagaimana yang dilakukan beliau, bagaimana mungkin orang yang was-was akan mematuhi jiwanya untuk mandi bersama istrinya dari satu wadah yang hanya seukuran satu farq (sekitar lima rithl Damaskus – hampir 2.5 kg air), yang keduanya mencelupkan tangan mereka ke dalamnya, dan menyiramkan air itu kepada diri mereka?
Maka orang yang terkena was-was akan merasa jijik terhadap hal itu, sebagaimana orang musyrik merasa jijik apabila hanya Allah saja yang disebutkan satu-satunya (dalam beribadah).
📚 Ighotsatul-Lahfān min Maṣhoyidis-Syaithon, 1/128
---
Telegram: https://t.me/ilmui
WA: https://whatsapp.com/channel/0029VaALfMAGJP8PEIsVk33P
#share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan
#WASPADA #WAS_WAS #BERSUCI
0 Comments