Advertisement

KEUTAMAAN SURAT AL-BAQOROH DAN ALI IMRON

بسم الله الرحمٰن الرحيم

☀️ KEUTAMAAN SURAT AL-BAQOROH DAN ALI IMRON ☀️

أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ، اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ، وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ، تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ، وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ». قَالَ مُعَاوِيَةُ: بَلَغَنِي أَنَّ الْبَطَلَةَ: السَّحَرَةُ،.
[مسلم ,صحيح مسلم ,1/553]

Abu Umamah al-Bahili, ia berkata:

Aku mendengar Rosululloh ﷺ bersabda:

**“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya. Bacalah dua surat az-Zahrawain: al-Baqaroh dan surat Ali ‘Imron, karena keduanya akan datang pada hari Kiamat seakan-akan dua gumpalan awan, atau seakan-akan dua naungan yang menaungi, atau seakan-akan dua kelompok burung yang berbaris, yang membela orang-orang yang membacanya. Bacalah surat al-Baqaroh, karena mengambilnya (mempelajari dan mengamalkannya) adalah keberkahan, dan meninggalkannya adalah penyesalan, dan para batallah (ahli sihir) tidak mampu menguasainya.”_

Mu‘awiyah berkata: Telah sampai kepadaku bahwa yang dimaksud al-bathalah adalah para penyihir.

[Shohih Muslim: 804, 1/553]

Berkata Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam Al-ithyubi rohimahulloh (w: 1442):

Penjelasan hadits:

(Dari Zaid) yaitu Ibn Abi Sallam. (Bahwa ia mendengar Abu Sallam) yaitu ayahnya, dan dia adalah Mamṭūr. (Berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu Umamah) yakni Ṣudayy bin ‘Ajlān. (al-Bāhili) yaitu nisbah kepada kabilah Bahilah. (Ia berkata: Aku mendengar Rosululloh ﷺ bersabda: “Bacalah Al-Qur’an”) yaitu manfaatkanlah membaca Al-Qur’an dan biasakanlah terus-menerus mengerjakannya. (Karena sesungguhnya ia) huruf fa’ menunjukkan alasan, yakni karena Al-Qur’an (akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pemiliknya) yaitu orang-orang yang senantiasa membacanya. Hal itu dengan cara Al-Qur’an menjelma dalam suatu bentuk yang dapat dilihat manusia, sebagaimana Allah Ta‘ala menjadikan amalan para hamba berupa bentuk dan timbangan agar diletakkan di atas timbangan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Secara umum, apa yang ditunjukkan oleh zahir nash (teks) tidak sepantasnya dialihkan maknanya. Maka seorang mukmin wajib menerima hal ini dan semisalnya, serta meyakini bahwa akal tidak memiliki peran dalam urusan-urusan seperti ini, tetapi hendaknya ia menyerah (menerima) dengan sepenuh ketundukan. Dan Allah Ta‘ala adalah Dzat yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

(Bacalah az-Zahrawain) yaitu bentuk ganda dari az-Zahrā’, bentuk muannats dari al-Azhar, yaitu yang bercahaya dan sangat terang. Maksudnya dua surat yang bercahaya. Keduanya dinamakan az-Zahrawain karena keduanya memiliki cahaya dan petunjuk serta besarnya pahala bagi orang yang membacanya. Disebutkan dalam al-Qāmūs: “Dan zahara pelita, bulan, dan wajah seperti mana‘a—zuhūran: bersinar seperti izdahar, dan api itu bercahaya.” Dan ia juga berkata: “Dan sungguh zahura, seperti fariḥa dan karuma.” Selesai.

Dan disebutkan dalam al-Miṣbāḥ: “Zahara sesuatu—yazharu dengan dua harakat fathah—artinya warna sesuatu itu menjadi jernih dan bercahaya. Dan kata ini kadang digunakan khusus untuk warna putih. Dan zahira laki-laki, dari bab ta‘iba: artinya menjadi putih, maka ia disebut azhar (yang bercahaya/putih)." Selesai.

Maka seakan-akan keduanya (surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran), dibandingkan dengan surat-surat lainnya, seperti perbandingan dua bulan terhadap bintang-bintang yang lain. Dan tidak diragukan bahwa cahaya kalam Allah jauh lebih kuat dan lebih terang daripada seluruh cahaya-cahaya alam semesta. Setiap surat dari surat-surat Al-Qur’an adalah zahrā’ (bercahaya); karena di dalamnya terdapat cahaya penjelasan hukum-hukum, nasihat-nasihat, dan manfaat lainnya, serta karena di dalamnya terdapat penyembuhan bagi dada (hati), penerangan bagi hati, dan pelipatgandaan pahala bagi orang yang membacanya. Hanya saja cahaya yang ada dalam dua surat ini lebih kuat dan lebih besar. Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

Adapun sabdanya: (al-Baqarah dan surat Ali ‘Imran) dibaca dalam bentuk naṣb sebagai badal (pengganti), atau dengan takdir kata “yang aku maksud adalah…”. Dan boleh pula dibaca raf‘ (marfū‘). Keduanya dinamakan az-Zahrawain karena banyaknya cahaya hukum-hukum syariat dan nama-nama Allah Yang Mahaindah yang terdapat di dalamnya. Disebutkannya kata “surat” pada penyebutan yang kedua, tetapi tidak pada yang pertama, adalah sebagai isyarat bahwa kedua cara itu boleh dilakukan (boleh menyebutkan kata “surat”, dan boleh tidak).

(Sesungguhnya keduanya) maksudnya dua surat tersebut. Ada yang mengatakan: pahala keduanya yang berhak diperoleh oleh pembacanya yang mengamalkannya. Namun pendapat pertama adalah yang benar, yaitu bahwa keduanya benar-benar mengambil bentuk, rupa, dan wujud secara nyata, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

(Akan datang) maksudnya: akan hadir (pada hari Kiamat, seakan-akan keduanya adalah dua awan)—ghamāmatān—dengan huruf ghain yang dibaca fathah, dan huruf mim yang diringankan; yakni dua awan yang menaungi pemiliknya dari panasnya padang mahsyar. Dinamakan ghamām karena ia yaghummu langit, yakni menutupinya.

(Atau seakan-akan keduanya dua gheyāyah) bentuk ganda dari ghayāyah—dengan huruf ghain difathahkan dan dua huruf ya' yang diringankan—yaitu segala sesuatu yang menaungi seseorang di atas kepalanya, baik berupa awan, debu, atau selainnya. Demikian penjelasan al-Jazari.

Al-Manawi berkata: “Ghayāyah adalah apa saja yang menaungi seseorang dari atasnya, dan yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang memiliki kejernihan dan sinar; karena ghayāyah adalah cahaya pancaran sinar matahari.”

Al-Qari—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Dikatakan bahwa al-ghamāmah adalah sesuatu yang menutupi dan menghapus cahaya karena begitu tebalnya; sedangkan al-ghayāyah adalah sesuatu yang tingkat ketebalannya lebih rendah daripada ghamāmah, dan lebih dekat kepada kepala pemiliknya, sebagaimana yang dilakukan terhadap para raja; sehingga terkumpullah padanya naungan dan cahaya sekaligus.”

Al-Hafni berkata: “Ghayāyatan” maksudnya keduanya memiliki cahaya dan sinar, sebagai tambahan dari sekadar memberikan naungan, sehingga maknanya lebih kuat daripada sebelumnya. Karena batas makna sebelumnya hanyalah bahwa keduanya menaungi seperti dua awan, sementara dalam hal itu tidak terdapat cahaya. Selesai.

(Atau seakan-akan keduanya adalah dua kelompok) bentuk ganda dari firq—dengan huruf fa’ dikasrahkan dan huruf ra’ disukunkan—yakni dua kawanan, maksudnya dua golongan dan dua kelompok. (Dari burung-burung) yaitu jamak dari ṭā’ir. (Ṣawāff) jamak dari ṣāffah, yaitu kumpulan burung yang berdiri dalam barisan. Kamu berkata: ṣaffaftu al-qawma (aku membuat kaum itu berbaris), yaitu apabila engkau menempatkan mereka di perang atau selainnya dalam satu garis yang lurus. Dan unta-unta ṣaffat kaki-kaki mereka, yaitu menempatkannya dalam barisan, maka ia disebut ṣāffah, ṣawāff. Dan burung ṣaff sayapnya, artinya ia membentangkan sayapnya tanpa menggerakkannya.

Maknanya adalah: burung-burung itu membentangkan sayap-sayap mereka dengan saling bersambungan satu sama lain, sehingga tidak ada celah di antaranya. Yang dimaksud ialah bahwa kedua surat itu akan melindungi pembacanya dari panasnya padang mahsyar dan kesulitan pada hari kiamat. Dan huruf “atau (أو)” dalam hadits bukan untuk menunjukkan keraguan, bukan pula untuk memilih salah satu bentuk tasybih antara tiga gambaran tersebut, dan bukan pula untuk menunjukkan keraguan dalam penyampaian. Namun maknanya adalah untuk menunjukkan variasi dan pembagian kondisi para pembacanya. Maka gambaran pertama adalah bagi orang yang membacanya tanpa memahami maknanya, gambaran kedua bagi yang menggabungkan antara tilawah dan memahami maknanya, dan gambaran ketiga bagi yang menambahkan pada keduanya upaya mengajarkan dan memberi bimbingan.

At-Tayyibi berkata: “‘Bacalah az-Zahrawain.’ Al-Zahrā’ bentuk muannats dari al-Azhar, yakni yang bercahaya. Dan dua benda bercahaya disebut al-Azharān. Allah membuat perumpamaan penjagaan dua surat itu terhadap pembacanya dan penyelamatannya dengan keberkahan keduanya dari panas padang mahsyar dan kesulitan hari kiamat, dengan salah satu dari tiga gambaran naungan ini.

Dan al-ghamāmah adalah awan, sedangkan al-ghayāyah adalah segala sesuatu yang menaungi seseorang dari atas kepalanya, seperti awan dan lainnya. Dikatakan: “Ghayyā al-qawm di atas kepala seseorang dengan pedang,” seakan-akan mereka menaunginya. Demikian dalam al-Gharibayn. Dan al-firqān adalah dua bagian; al-firq, al-farīq, dan al-firqah semuanya berarti bagian atau kelompok. Dan al-ṣawāff adalah yang membentangkan sayapnya dan saling tersambung satu sama lain; bentuk jamak dari ṣāffah.

Al-Baghawi berkata dalam Syarh as-Sunnah: “Huruf ‘aw’ (atau) dalam hadits berarti variasi (tanwi‘), bukan karena perawi ragu. Hal itu karena seluruh riwayat yang ada konsisten dengan bentuk tersebut.” Mereka berkata: Gambaran pertama bagi orang yang membacanya tetapi tidak memahami maknanya; yang kedua bagi orang yang diberi taufik untuk menggabungkan antara membaca lafaz dan memahami makna; dan yang ketiga bagi orang yang menambahkan kepada keduanya aktivitas mengajarkan para pencari ilmu dan menjelaskan hakikat-hakikat (kandungan) kedua surat itu. Maka tidak diragukan lagi, amal usahanya itu pada hari kiamat akan menjelma baginya seperti burung-burung ṣawāff, yang menjaganya dan membela dirinya.” Selesai.

At-Tayyibi berkata: “Apabila telah jelas adanya perbedaan tingkat pada sesuatu yang diibaratkan, maka harus pula ada perbedaan tingkat pada sesuatu yang menjadi tempat ibarat (yang digunakan untuk menyamakan). Maka pemberian naungan dengan awan (al-ghamāmah) lebih rendah tingkatnya dibandingkan pemberian naungan dengan ghayāyah; karena yang pertama bersifat umum bagi setiap orang, sedangkan yang kedua khusus bagi para raja. Dan yang ketiga (yakni tasybih dengan dua kelompok burung ṣawāff) khusus bagi orang yang berdoa dengan firman Allah: {وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي} (Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang pun setelahku) [Ṣād: 35].

Kemudian, dalam tasybih ini terdapat keunikan, yaitu bahwa beliau (Nabi) pertama kali menyamakan keduanya dengan dua benda bercahaya dalam hal sinar dan pancaran cahaya. Lalu menyamakannya lagi dengan awan dan ghayāyah—yang menunjukkan sesuatu yang berlawanan dengan cahaya berupa naungan dan kegelapan—sebagaimana dalam hadits setelah hadits ini: “atau dua naungan yang hitam”. Maka hal ini memberi tahu bahwa kedua naungan itu (yang ditamsilkan) bukan seperti naungan yang dikenal di dunia. Sebab naungan di dunia, meskipun berfungsi untuk menghilangkan panas dan memuliakan pemiliknya, tetap saja tidak terlepas dari sedikit kekeruhan dan adanya unsur kepayahan. Adapun naungan itu—semoga Allah menganugerahkan kepada kita—bersih dari semua itu, karena keduanya seperti dua benda bercahaya dalam hal sinar dan pancaran, tanpa memiliki panas dan kesulitan.

Dan tasybih ketiga memberi tahu bahwa keduanya, meskipun bercahaya, diserupakan dengan naungan Nabi Allah; kemudian tasybih itu diperkuat dengan penambahan kata “keduanya membela (tuḥājjāni)” agar memberi tahu bahwa dua kelompok burung itu bukan seperti burung-burung Nabi Allah, yaitu burung yang mengitari beliau untuk menjaga diri beliau dari apa yang membahayakan. Beliau menyamakan keduanya terlebih dahulu dengan dua benda bercahaya agar diketahui bahwa kedudukan dua surat ini dibanding lainnya seperti kedudukan dua bulan dibandingkan seluruh bintang dalam hal manfaat yang memancar darinya bagi para penglihat.

Kemudian beliau menyebutkan: “al-Baqarah dan Ali ‘Imran” sebagai pengganti dari penyebutan dua benda bercahaya, sebagai bentuk penekanan dalam menjelaskan dan memperjelas, sebagaimana engkau mengatakan: “Maukah aku tunjukkan kepadamu orang yang paling mulia dan paling utama: si Fulan.” Ini lebih kuat dalam menggambarkan kemuliaan dan keutamaannya dibandingkan perkataanmu: “Maukah aku tunjukkan kepadamu si Fulan yang paling mulia dan paling utama”; karena engkau menyebutnya dua kali, pertama secara global dan kedua secara rinci. Dan penyebutan “al-Baqarah dan Ali ‘Imran” merupakan penjelasan dan pendetailan bagi kata “az-Zahrawain.” Maka beliau menjadikan keduanya sebagai nama bagi dua hal yang bercahaya dan bersinar.

Kemudian, penjelasan ini mengeluarkan “az-Zahrawain” dari bentuk istiarah (metafora) menjadi bentuk tasybih (perumpamaan nyata), sebagaimana firman Allah: {حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ} [al-Baqarah: 187]. Dan meskipun ia adalah tasybih, ia lebih kuat daripada istiarah karena menunjukkan bahwa ia merupakan penjelas yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya samar.”
Selesai ucapan at-Tayyibi.

(Keduanya membela para pemiliknya), dan dalam sebagian naskah terdapat bacaan: “yuḥājjāni” (mereka berdua membela) dengan huruf ya’: yakni kedua surat itu menolak pembacanya dari neraka dan malaikat penjaganya, atau keduanya berdebat dan bersengketa dengan Tuhan Yang Mahaagung—dan itu adalah kiasan tentang besarnya syafaat. Demikian penjelasan al-Qari.

Dan berkata at-Turubusytī: Asal makna “al-muḥājjah” adalah bahwa masing-masing dari dua pihak yang bersengketa berusaha meminta agar lawannya dikembalikan dari hujjah dan jalan kebenarannya; dan yang dimaksudkan di sini adalah pembelaan dua surah itu terhadap sahabatnya serta melindunginya.

Dan berkata asy-Syaukānī: “Yuḥājjāni” artinya: keduanya menegakkan hujjah untuk sahabatnya dan berdebat membelanya, dan yang dimaksud dengan “sahabatnya” adalah orang yang memperbanyak membaca keduanya.

Dan zahir hadis menunjukkan bahwa keduanya berwujud secara nyata sampai menjadi seperti salah satu dari tiga perkara yang Rasulullah ﷺ jadikan sebagai perumpamaan bagi keduanya, kemudian Allah Ta’ala memberi keduanya kemampuan untuk berbicara dengan hujjah; dan hal itu tidak mustahil bagi Dzat yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa, Dzat yang apabila berfirman kepada sesuatu “Kun!” (Jadilah), maka jadilah ia. Selesai.

KEUTAMAAN SURAT AL-BAQOROH DAN ALI IMRON


Berkata al-Jāmi‘ –semoga Allah mengampuninya–: Apa yang dikatakan oleh asy-Syaukānī mengenai keduanya yang mengambil bentuk nyata, itulah yang benar. Adapun yang dikatakan oleh an-Nawawī bahwa yang dimaksud adalah bahwa pahala keduanya datang (pada hari kiamat) seperti dua awan, maka di dalamnya ada perkara yang jelas perlu ditinjau kembali. Apa yang membawanya meninggalkan kandungan zahir nash? Demikian pula perincian panjang yang dibuat al-Qurṭubī dalam al-Mufhim, yang tidak sepantasnya diperhatikan. Maka perhatikanlah!

Kesimpulannya: membawa zahir al-Kitab dan as-Sunnah sesuai bentuk zahirnya jika memungkinkan adalah kebenaran, dan tidak boleh beralih kepada takwil kecuali bila datang dalil yang memalingkannya dari zahir, sebagaimana hadis yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud rodhiyallohu anhu. Ia berkata: Ketika turun ayat: {Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezaliman} (QS. al-An‘ām: 82), para sahabat memahami dari ayat tersebut makna kezaliman secara umum, dan Nabi ﷺ membenarkan pemahaman mereka, namun beliau menjelaskan kepada mereka bahwa yang dimaksud di sini adalah syirik. Maka perhatikanlah, dan jangan menjadi tawanan taklid; dan Allah Ta’ala-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus.

(“Bacalah Surah al-Baqarah”). Berkata ath-Ṭayyibī: Ini adalah takhshīsh (pengkhususan) setelah pengkhususan setelah ta‘mīm (penggeneralan). Beliau ﷺ menggeneralkan terlebih dahulu dengan sabdanya: “Bacalah al-Qur’an”, dan mengaitkan dengannya syafaat. Kemudian beliau mengkhususkan dua surah “az-Zahrawain”, dan mengaitkan keduanya dengan penyelamatan dari kesulitan dan panas pada Hari Kiamat serta pembelaan terhadap para pembacanya. Kemudian beliau secara khusus menyebutkan “al-Baqarah”, dan menggabungkan kepadanya tiga makna yang akan datang sebagai isyarat bahwa setiap surah memiliki kekhususan yang tidak dapat diketahui kecuali oleh pemilik syariat. Selesai.

(“Sesungguhnya mengambilnya”) yaitu membiasakan diri membacanya, merenungi makna-maknanya, dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya. (“Adalah keberkahan”) yakni tambahan dan pertumbuhan (kebaikan). Ada yang berkata: yaitu manfaat yang besar. (“Dan meninggalkannya”) dalam keadaan manshub, dan boleh pula dibaca marfū‘, (“adalah penyesalan”) yakni rasa sedih dan kecewa atas pahala yang terluput. Ada yang berkata: yaitu penyesalan pada Hari Kiamat.

(“Dan tidak mampu atasnya”) yakni tidak sanggup untuk meraihnya, (“al-baṭalah”) —dengan huruf bā’ dan ṭā’ yang tidak bertitik— yaitu orang-orang yang malas dan penganggur; karena panjangnya (surah) ini dan karena mereka sudah terbiasa bermalas-malasan.

(“Mu‘āwiyah berkata”) —yaitu Mu‘āwiyah bin Sallām, perawi dari Zaid bin Sallām— saat menjelaskan makna “al-baṭalah”: “Sampai kepadaku bahwa al-baṭalah adalah para penyihir (as-saḥarah)”, dengan bentuk jamak sebagaimana kāfir dan kafarah, seperti yang disebutkan dalam al-Khulāṣah:

“Wa syā‘a naḥwu kāmilin wa kamalah”
(Dan telah masyhur bentuk seperti “kāmil” dan “kamalah”)

Ia berkata dalam al-Kāsyif: “Al-baṭalah” adalah para penyihir. Mereka dinamakan “al-baṭalah” karena apa yang mereka datangkan adalah kebatilan, maka mereka dinamakan dengan nama perbuatan mereka yang batil itu. Mereka tidak mampu menghafalnya, dan tidak kuat membacanya, karena penyimpangan mereka dari kebenaran, mengikuti bisikan-bisikan (setan), dan terjerumus dalam kebatilan.

Al-Ṭayyibī berkata: Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan “al-baṭalah” adalah orang-orang yang terkena celaan dari para “penyihir retorika (saharatul-bayān)”, ketika di dalamnya ditegaskan tantangan Allah: {Maka datangkanlah satu surah yang semisal dengannya} (QS. al-Baqarah: 23). Maka mereka bungkam dan tidak kuasa menjawab. Ini seperti sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya sebagian dari bayan (retorika) itu adalah sihir,” diriwayatkan oleh al-Bukhārī.

Dan ada yang berkata: yang dimaksud “al-baṭalah” adalah orang-orang yang malas, yakni para penganggur; yaitu bahwa para penganggur dan pemalas tidak mampu membaca lafaz-lafaznya, merenungi makna-maknanya, dan mengamalkan perintah serta larangannya. Selesai.

Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui kebenaran, kepada-Nyalah tempat kembali dan tujuan akhir, Dia-lah tempat meminta pertolongan, dan hanya kepada-Nya sandaran diserahkan.

[Muhammad Adam al-Itiyubi, al-Baḥr al-Muḥīṭ ats-Tajjāǧ fī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Imām Muslim ibn al-Ḥajjāj, 16/347-352]



#share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan

Post a Comment

0 Comments