بسم الله الرحمٰن الرحيم
🔸 PUASA TASUA DAN ASYURO 🔸
سئل فضيلة الشيخ - رحمه الله تعالى -: هل صيام يوم بعد يوم عاشوراء أفضل أم صيام اليوم الذي قبله؟
فأجاب فضيلته بقوله: قال العلماء في صيام يوم عاشوراء: إما أن يكون مفرداً، أو يصوم معه التاسع، أو يصوم معه الحادي عشر، وهناك صورة رابعة، وهي أن يصوم التاسع والعاشر والحادي عشر، فيكون ثلاثة أيام من الشهر.
والأفضل لمن لا يريد أن يصوم إلا يومين أن يصوم التاسع والعاشر.
لكن في هذا العام - أعني عام خمسة عشر وأربع مائة وألف - اختلف الناس، لأنه لم يصل خبر ثبوت الشهر إلا متأخراً، فبنى بعض الناس على الأصل وهو أن يكمل شهر ذي الحجة ثلاثين يوماً، وقال: إن اليوم العاشر هو يوم الاثنين، فصام الأحد والاثنين. والذين بلغهم الخبر من قبل عرفوا بأن الشهر ثبت دخوله ليلة الثلاثين من ذي الحجة، فصام يوم السبت ويوم الأحد. والأمر في هذا واسع إن شاءالله، لكن إذا لم يثبت دخوله أعني شهر محرم ليلة الثلاثين من ذي الحجة فإنه يكمل شهر ذي الحجة ثلاثين ويبني عليه لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في رمضان: «فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين» وهذا مثله، لأن الأصل بقاء الشهر حتى يثبت خروجه برؤية هلال ما بعده أو إكماله ثلاثين.
وبهذه المناسبة أود أن أبين أنه قد ورد في حديث أخرجه أبو داود؛ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: «لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم، فإن لم يجد أحدكم إلا لحاء عنبة أو عود شجرة فليمضغه» . فهذا الحديث قال أبو داود: إن مالكاً رحمه الله وهو مالك بن أنس الإمام المشهور قال: إن هذا الحديث مكذوب على الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ولا يصح. والحقيقة أن من تأمل هذا الحديث وجد أن فيه اضطراباً في سنده، وفيه شذوذ أو نكارة في متنه.
أما الاضطراب في سنده فقد تكلم عليه أهل العلم وبينوا سبب الاضطراب، ومن شاء أن يرجع إلى كلامهم فليفعل.
وأما الشذوذ في متنه والنكارة، فلأنه ثبت عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فيما رواه البخاري في صحيحه أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دخل على جويرية بنت الحارث رضي الله عنها يوم الجمعة فقالت: إنها صائمة، فقال: «أصمت أمس؟» قالت: لا. قال: «أتصومين غداً؟» قالت: لا. قال: «فافطري» . ومعلوم أن الغد من يوم الجمعة يكون يوم السبت، فهذا قول الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فيما رواه البخاري، أنه أذن في صوم يوم السبت، وكذلك ما روي عن أم سلمة رضي الله عنها أنها كانت تقول: «كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يصوم يوم السبت ويوم الأحد أكثر مما يصوم من الأيام ويقول: «إنهما عيد المشركين فأحب أن أخالفهم» .
فثبت من سنة الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ القولية والفعلية، أن صوم يوم السبت ليس حراماً. والعلماء مختلفون في حديث النهي عن صوم يوم السبت من حيث العمل به؛ فمنهم من قال: إنه لا يعمل به إطلاقاً، وأن صوم يوم السبت لا بأس به، سواء أفرد أم لم يفرد، لأن الحديث لا يصح، والحديث الذي لا يصح لا ينبني عليه حكم من الأحكام.
ومنهم من صحح الحديث أو حسنه وقال: إن الجميع بينه وبين الأحاديث الأخرى، أن المنهي عنه إفراده فقط، يعني أن يفرده دون الجمعة أو يوم الأحد، وهذا ما ذهب إليه الإمام أحمد رحمه الله فقال: إذا صام مع يوم السبت يوماً آخر فلا بأس، كأن يصوم معه الجمعة أو يصوم معه الحد، كذلك نقول: إذا صادف يوم السبت يوماً يشرع صومه، كيوم عرفة، ويوم العاشر من شهر محرم فإنه لا يكره صومه، لأن الكراهة أن تصومه لأنه يوم السبت، أي تصومه بعينه، معتقداً فيه مزية عن غيره. وقد نبهت على ذلك لأنني سمعت أن بعض الناس صام يوم التاسع والعاشر من شهر المحرم، وكان أحدهما يوم السبت، فنهاهم بعض الإخوة وأمرهم بالفطر، وهذا خطأ، وكان على هذا الأخ أن يسأل قبل أن يفتي بغير علم.
Pertanyaan:
Syaikh yang mulia – semoga Allah merahmatinya – ditanya: Manakah yang lebih utama, berpuasa sehari setelah hari ‘Āsyūrā’ atau berpuasa sehari sebelumnya?
Jawaban:
Beliau menjawab:
Para ulama berkata tentang puasa hari ‘Āsyūrā’: bisa dilakukan dengan beberapa cara:
1. Berpuasa hanya hari itu saja (hari kesepuluh Muharram).
2. Berpuasa bersama dengan hari kesembilan.
3. Berpuasa bersama dengan hari kesebelas.
4. Ada bentuk keempat, yaitu berpuasa pada hari kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas, sehingga menjadi tiga hari dalam bulan tersebut.
Yang paling utama bagi orang yang hanya ingin berpuasa dua hari adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh.
Namun pada tahun ini – maksudku tahun 1415 H – terjadi perbedaan di tengah masyarakat, karena kabar penetapan awal bulan tidak sampai kecuali terlambat. Maka sebagian orang berpegang pada hukum asal, yaitu menyempurnakan bulan Dzulhijjah menjadi tiga puluh hari, dan mengatakan bahwa hari kesepuluh (Muharram) adalah hari Senin, sehingga mereka berpuasa hari Ahad dan Senin.
Adapun mereka yang telah mendapat kabar sebelumnya, mengetahui bahwa awal bulan telah ditetapkan pada malam ketiga puluh Dzulhijjah, maka mereka berpuasa hari Sabtu dan Ahad.
Namun hal ini insyaAllah termasuk perkara yang lapang dan luas (tidak menyempitkan). Akan tetapi, jika belum terbukti masuknya bulan Muharram pada malam ketiga puluh Dzulhijjah, maka hendaknya disempurnakan bulan Dzulhijjah menjadi tiga puluh hari dan dibangun di atasnya, berdasarkan sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tentang bulan Ramadhan:
> “Jika kalian tertutup (tidak melihat hilal), maka sempurnakanlah jumlah hari menjadi tiga puluh hari.”
Maka ini juga serupa dengannya, karena hukum asalnya adalah bulan itu tetap ada sampai terbukti keluarnya dengan melihat hilal bulan berikutnya atau menyempurnakan jumlah hari menjadi tiga puluh.
Pada kesempatan ini aku ingin menjelaskan bahwa telah diriwayatkan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abū Dāwūd, bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
> “Janganlah kalian berpuasa hari Sabtu kecuali pada apa yang diwajibkan atas kalian. Jika salah seorang dari kalian tidak mendapatkan kecuali kulit anggur atau batang pohon, maka kunyahlah itu.”
Tentang hadits ini, Abū Dāwūd mengatakan bahwa Mālik rahimahullah – yaitu Mālik bin Anas, imam yang masyhur – berkata: “Sesungguhnya hadits ini adalah dusta atas Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan tidak sahih.”
Sesungguhnya orang yang meneliti hadits ini akan mendapati bahwa hadits tersebut terdapat keganjilan dalam sanadnya (rantai perawinya), serta terdapat kejanggalan atau kemungkaran dalam matannya (isi teksnya).
Adapun keganjilan dalam sanadnya, maka para ulama telah membahasnya dan menjelaskan sebab-sebabnya. Maka siapa saja yang ingin merujuk pada pembahasan mereka, silakan melakukannya.
Adapun kejanggalan (syudzudz) dalam matan (isi hadits) dan kemungkarannya, maka karena telah tsabit (pasti) dari Nabi ﷺ dalam riwayat yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya bahwa Nabi ﷺ masuk menemui Juwayriyyah bintu al-Ḥārith raḍiyallāhu ‘anhā pada hari Jum‘at, lalu dia (Juwayriyyah) berkata bahwa ia sedang berpuasa. Maka beliau ﷺ bersabda:
> “Apakah kamu berpuasa kemarin?”
Ia menjawab: “Tidak.”
Beliau bersabda: “Apakah kamu akan berpuasa besok?”
Ia menjawab: “Tidak.”
Maka beliau bersabda: “Berbukalah.”
Padahal diketahui bahwa hari “besok” dari hari Jum‘at adalah hari Sabtu. Maka inilah sabda Rasul ﷺ sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari, bahwa beliau memperbolehkan (mengizinkan) berpuasa pada hari Sabtu.
Begitu pula apa yang diriwayatkan dari Ummu Salamah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa beliau berkata:
> “Dahulu Rasulullah ﷺ biasa berpuasa pada hari Sabtu dan hari Ahad lebih banyak dari hari-hari lainnya. Beliau bersabda: ‘Keduanya adalah hari raya bagi orang-orang musyrik, maka aku senang menyelisihi mereka.’”
Maka telah tsabit (pasti) dari sunnah Rasul ﷺ, baik perkataan maupun perbuatan, bahwa berpuasa hari Sabtu bukanlah sesuatu yang haram.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits larangan berpuasa hari Sabtu, dalam hal penerapannya:
Di antara mereka ada yang berkata bahwa hadits tersebut tidak diamalkan secara mutlak, dan bahwa puasa pada hari Sabtu tidak mengapa, baik dilakukan secara mufrad (sendirian) ataupun tidak, karena hadits itu tidak shahih, dan hadits yang tidak shahih tidak dapat dijadikan dasar hukum.
Di antara mereka ada yang menguatkan atau menghasankan hadits tersebut, lalu berkata bahwa bentuk penggabungan (antara hadits larangan dan hadits-hadits yang memperbolehkan) adalah: larangan itu hanya berlaku jika puasa dilakukan secara mufrad (sendirian), yaitu mengkhususkan hari Sabtu saja tanpa digabung dengan hari Jum‘at atau hari Ahad.
Dan inilah pendapat Imam Ahmad rahimahullah. Beliau berkata: “Jika seseorang berpuasa bersama hari Sabtu satu hari yang lain, maka tidak mengapa,” seperti jika ia berpuasa hari Jum‘at dan Sabtu, atau Sabtu dan Ahad.
Demikian pula kami katakan: Jika hari Sabtu itu bertepatan dengan hari yang disyariatkan untuk berpuasa, seperti hari ‘Arafah atau hari kesepuluh bulan Muharram (‘Āsyūrā’), maka tidak dimakruhkan puasa pada hari itu. Karena yang dimakruhkan adalah jika seseorang berpuasa hanya karena hari itu adalah hari Sabtu — artinya, ia berpuasa secara khusus karena hari Sabtu, dengan meyakini bahwa hari itu memiliki keutamaan dibandingkan dengan hari-hari lain.
Saya menyinggung hal ini karena saya mendengar bahwa sebagian orang berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh bulan Muharram, dan salah satu dari dua hari itu bertepatan dengan hari Sabtu. Lalu sebagian saudara (Muslim) melarang mereka dan memerintahkan mereka untuk berbuka. Ini adalah sebuah kesalahan. Hendaknya orang yang menasihati itu bertanya terlebih dahulu sebelum berfatwa tanpa ilmu.
📚 [Majmū‘ Fatāwā wa Rasā’il al-‘Utsaimīn, jilid 20, hal. 35–37]
Puasa 9-10 Muharrom 1447 untuk wilayah Indonesia bertepatan dengan Sabtu dan Ahad yang akan datang, in syaa Alloh.
Telegram: https://t.me/ilmui
#share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan
#Puasa #tasuah #Asyuro
0 Comments